RASIONAL
by. Joko Prawito
Kehidupan dan peradaban manusia di awal milenium
ketiga ini mengalami banyak perubahan. Dalam merespon fenomena itu, manusia
berpacu mengembangkan pendidikan baik di bidang ilmu-ilmu umum, ilmu alam, ilmu
pasti maupun ilmu-ilmu terapan. Namun bersamaan dengan itu muncul sejumlah
krisis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya krisis politik,
ekonomi, ystem, yste, etnis, agama, golongan dan ras. Akibatnya, peranan serta
efektivitas pendidikan di sekolah sebagai pemberi nilai terhadap kesejahteraan
masyarakat dipertanyakan. Dengan asumsi jika pendidikan dilakukan dengan baik,
maka kehidupan masyarakatpun akan lebih baik.
Kenyataannya, seolah-olah pendidikan dianggap
kurang memberikan kontribusi system itu. Setelah ditelusuri, pendidikan menghadapi beberapa kendala,
antara lain; waktu yang disediakan, pelajaran dengan muatan materi yang begitu
padat dan memang penting, yakni menuntut pemantapan pengetahuan hingga
terbentuk watak dan kepribadian yang berbeda jauh dengan tuntutan terhadap lingkungan
kehidupan sesungguhnya.
Memang tidak adil menimpakan tanggung jawab atas
munculnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu kepada pendidikan di
sekolah, sebab pendidikan di sekolah bukanlah satu-satunya system yang menentukan dalam pembentukan watak dan kepribadian
siswa. Apalagi dalam pelaksanaan pendidikan tersebut masih terdapat kelemahan-kelemahan
yang mendorong dilakukannya penyempurnaan terus menerus. Kelemahan lain, materi
pendidikan, termasuk bahan ajar akhlak, lebih terfokus pada pengayaan
pengetahuan (kognitif) dan minim dalam pembentukan sikap (afektif) serta
pembiasaan (psikomotorik). Kendala lain adalah kurangnya keikutsertaan guru
mata pelajaran lain dalam ystem motivasi kepada peserta didik untuk
mempraktikkan nilai-nilai pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Lalu lemahnya
sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif,
minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya peran
serta orang tua siswa.
Dalam kurikulum 1975, 1984, dan 1994, target
yang harus dicapai (attainment
target) dicantumkan dalam tujuan
pembelajaran umum. Hal ini kurang ystem kejelasan tentang kemampuan yang harus dikembangkan.
Atas dasar teori dan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dipraktikkan
di berbagai ystem seperti Singapura, Australia, Inggris, dan Amerika; juga
didorong oleh visi, misi, dan system baru Pendidikan, maka penyusunan kurikulum Pendidikan kini perlu
dilakukan dengan berbasis kompetensi dasar (basic competency).
Kurikulum pendidikan tahun 1994 juga lebih
menekankan materi pokok dan lebih bersifat memaksakan target bahan ajar sehingga
tingkat kemampuan peserta didik terabaikan. Hal ini kurang sesuai dengan
prinsip pendidikan yang menekankan pengembangan peserta didik lewat fenomena
bakat, minat serta dukungan sumber daya lingkungan. Dalam implementasinya juga
lebih didominasi pencapaian kemampuan kognitif. Kurang mengakomodasikan
keragaman kebutuhan daerah. Meski secara nasional kebutuhan keberagamaan siswa
pada dasarnya tidak berbeda. Dengan pertimbangan ini, maka sangat perlu disusun Program yang berbasis pada kompetensi dasar (basic competency) yang mencerminkan kebutuhan keberagamaan siswa.
Standar ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai acuan dalam mengembangkan pengayaan
pengetahuan (knowledge), ketrampilan(skill), nilai(value), dan
perilaku(attitude) dalam pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan
(psikomotorik) sesuai dengan 9 pilar karakter pelajar dalam kehidupan di masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar